Pure Distraction

بسم الله الرحمن الرحيم

Kemarin...

Aku scroll down terus dan terus agar bisa melihat tulisannya. Namun berbeda kini, tak satu pun tulisan yang menyentuh. Tak satu pun lagi tulisan disana yang menceritakan aktifitas dan perlakuanku.

Memang pahit rasanya jika mengalami hal itu. Namun dia harus tau yang sebenarnya...

Betapa pencarianku sedari semester 6 kuliah belum juga berbalas. Tahun-tahun ku lewati dengan penuh harap dan do'a, namun Allah berkehendak lain. Ia memberiku kesempatan dan rezki untuk terlebih dulu melanjutkan studi.

Studiku yang hampir usai, datangnya ia, suamiku kini dalam hidupku, seolah menjawab harap do'aku.

Ragu? tentu saja, keraguan begitu besar, keberanianku seakan pupus ketika dihadapkan pada seseorang yang berani menemui kedua orang tuaku.

Mereka bilang aku jahat? Atas dasar apa?

Sudah jelas lika liku jodoh ini hanya Allah yang tau, bukan sekedar ingin, tapi juga diusahakan, diperjuangkan dan dipinta lewat do'a.

Bukan hanya ingin memiliki, bukan ingin mencintai dia yang mengenalku sejak dulu dan menaruh rasa padaku, rasa yang sama sekali tidak pernah ku tau itu. Karena ia hanya sebatas ingin. Hadirnya ia hanya memberi notifikasi, bukan tatap muka dan keberanian untuk bertanggung jawab.

Mereka bilang ia selalu membayangkan dan mengharapkanku jadi bagian dari hidupnya. Aku kaget mendengarnya, tapi tak sedikit pun rasa bahagia. Hanya tanda tanya besar yang terus menganga, selama ini apa yanh ia lakukan? Mengapa tidak berusaha mencari? Mengapa tidak berusaha memperjuangkan kalo memang ia serius dengan niatnya?

Lalu kusadari, bahwa keinginan dan maksudnya tidak benar-benar ada. Aku hanyalah bagian dari angannya yang berbentuk sebuah fatamorgana, tidak benar-benar ia harapkan kehadirannya. Aku semacam obsesi sekejap yang bersifat fiktif tanpa ada tujuan pencapaian.

Meskipun jujur saja, bukan ku tak menaruh perhatian pada gelagapnya yang seringkali gagap. Mudah ditebak dan sangat cheezy. Aku sadari semuanya, namun bukan itu yang ku harapkan, bukan! Aku akan sangat menganggap serius perkataan dan gelagapnya saat ia menghubungiku untuk menjadi satu tim bersama. Tapi nyatanya tidak!

Analisisku mengarah pada kesimpulan yang sangat gamblang, ia tidak siap untuk menanggung beban, mentalnya terlalu lemah untuk menjadi pemimpin bagiku dan keluargaku kelak.


  • Jadi ku putuskan untuk mengabaikan segala macam warning yang menjadi distraksi pengambilan keputusanku membina sebuah keluarga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unintentional Supply

Essential of Love

Resensi buku "Membentuk Karakter Cara Islam"