Milad Suamiku

بسم الله الرحمن الرحيم

Happy milad cuami tercinta...

Alhamdulillah tahun ini adalah tahun ke-2 kebersamaanku, pernikahanku yang baru seumur jagung. Syukur walhamdulillah Allah masih memberikan kami kebahagiaan, ketenangan dan kesukacitaan saat umur semakin bertambah begitupun dengan umur pernikahan kami.

Pernikahan yang penuh lika liku dan teka teki, suka duka dan banyak arti. Begitu menyetuh, berkesan, semua rasa bercampur aduk. Tentunya tak hanya rasa suka, juga duka, kesal, sebal, bete, lelah, dll yang umum terjadi saat proses beradaptasi dengan pasangan. Rasanya nano-nano, seperti rasa permen nano yang manis, asam asin ramai rasanya. Seperti naik jetcoster yang belum tau ujungnya, kadang begitu tenang, kadang pula berjungkir balik. Semoga kami berdua bisa memaknai setiap episode pernikahan kami ini, insya Allah. Pernikahan, kami maknai sebagai jalan mencapai ridho Allah SWT.

Tema obrolan minggu ini dengan suami yang paling berbekas diingatanku yaitu mental blocking. Mental blocking ini bervariasi pada setiap orang dan mengenai berbagai macam hal. Contohnya saja pada kriteria pasangan. Mental blocking pada kriteria pasangan misalnya harus lebih tua, perbedaan umur. Padahal apakah jodoh kita ini tua, muda, kaya, berkecukupan, beda suku, beda ras (asal tidak beda agama) tetap saja semua perlu adaptasi.

Yak betul sekali. Dimana ada perubahan disitu ada adaptasi atau penyesuaian diri. Hal ini yang terkadang jarang difokuskan pada calon pengantin dan sahabat-sahabat yang sedang mencari pasangan. Fokusnya hanya pada kriteria saja, tidak mempersiapkan diri dan membuat pertimbangan lebih baik mengenai batasan-batasan yang bisa diterima pada calon pasangan impian. Kalau bahasa statistikanya batas bawah dan batas atas. Sejauh mana kita bisa menerima kekurangannya dan sejauh mana pula kita bisa menerima kelebihannya. Karena seringkali pembahasan mengenai calon pasangan terfokus pada kekurangan saja, tidak pada kelebihan. Padahal mungkin saja kelebihan yang dimiliki itu menjadi ujian bagi calon pasangannya dan akan menjadi beban setiap kali ada permasalahan yang terkait kelebihannya itu. Wallahu'alam bissawab.

Begitupun denganku, meski suamiku terlahir 2 tahun setelahku, namun itikad baik kami untuk menikah berhasil mematahkan segala spekulasi orang tentang umur. Inti fokusnya adalah komitmen dan keimanan. Orang yang berniat untuk berkomitmen (menikah) didasari dengan keimanan, tidak akan mempermasalhkan hal-hal yang seharusnya tidak jadi masalah. Seperti di zaman Rasulullah SAW, beliau menyarankan pengikutnya untuk menemui calon pasangannya, menanyakan perasaannya atau rasa ketertarikannya serta kemampuan menikahnya. Dan inti pertimbangan calon pasangan adalah agamanya. Berbeda di zaman kita sekarang, pertimbangan-pertimbangannya begitu manusiawi dan cenderung lebih kepada ego manusiawi. Entah ego yang berasal dari calon pengantin, keluarga, keluarga calon pengantin, atau pun faktor-faktor eksternal lain yang menggeserkan makna pernikahan.

Pernikahan mendorong ketertarikan saya kepada perilaku calon pasangan yang akan menikah. Saya jadi penasaran dan tertarik untuk mengkaji perilaku manusia yang begitu kompleks ini. Kembali lagi kepada inti pembicaraan saya diawal yaitu adaptasi. Pernikahan mendorong saya untuk lebih bertoleransi, sabar dan mengayomi satu sama lain.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unintentional Supply

Essential of Love

Resensi buku "Membentuk Karakter Cara Islam"