Lelah dan Terkuras

Yaa Rabb

Mengapa hampa ini semakin terisi dengan rasa sedih, pilu dan sesak?

Saat pendidikan suami, menguras segalanya dari dirinya. Bahkan kehadiran dan kewajibannya pada keluarga pun tak bisa lagi sedikit diprioritaskan. 

Belum lagi kedekatan kami yang semakin tenggang setiap harinya. Ya Rabb, hatiku pedih ya Rabb. Ku sangat menyayangi, menghargai dan ingin mendukungnya sepenuh hati. Namun rasanya rasa ini tak disambut baik olehnya. Baginya perasaan memiliki yang kumiliki, hanyalah beban yang ingin dihapuskan.

Ya Allah ya Rabb... 

Ku sadar, dirinya hanyalah titipan semata dan dalam ridho'nya lah terdapat syurga. Tapi begitu pahit rasanya, bahkan keberadaanku tidak lagi ia inginkan. Perasaanku dan keinginannya baginya hanya bagaikan cobaan.

Kami berdua telah berada jauh dijalur yang berbeda. Kuingin menjadi ibu yang mengajarkan hal-hal dasar pada anak-anak yang menjadi amanah ku. Ia berharap diriku memiliki sesuatu yang seimbang dengan karir yang dimilikinya, prosperity dan skill seperti dirinya.

Hal yang ingin kuraih berbeda dengan apa yang diinginkannya. Dan kini membuatku begitu sesak. Jarak yang memisahkan kami ku kira akan menambah eratnya rindu untuk semakin berkasih sayang. Tapi ternyata sebaliknya. Dirinya hanya semakin menjauh dan menjauh. Apapun yang kuceritakan ku share kan bahkan tak satupun ia pedulikan. 

Ia kelelahan dan sangat tersisa dalam residensinya. Namun aku tetap menginginkan kehadirannya. Jadi dimana titik tengah yang mampu kuraih?

Hal-hal berharga yang kulakukan menurutnya tak berharga, hal yang sebelumnya tak mampu kulakukan, baginya pun tak ada bedanya. Jadi sebenarnya kejelasan apa yang diinginkannya aku tidak faham. Apakah ku harus membiayai pendidikannya/ biaya hidup kami selama dirinya residensi?

Ku hanya ingin dinasehatin, tentang pengasuhan anak-anak, karena bagaimanapun kami ini satu tim sebagai ayah-ibu. Jika pun kehadirannya belum mampu karena kesibukkan, minimal bercakap dan mengobrol denganku bisa sangat membantu mendidik anak-anak kami. Sayangnya, bahkan ia mengabaikan itu. Ia hanya menganggapku tak berharga karena tanpa prestasi setingkat dirinya. Karena diriku belum mampu berpenghasilan semampu dirinya, karena ia terus menerus mengharap aku mampu seminimal orang seperti dirinya.

Memang kurasa kusalah dalam memutuskan kerja atau tidak. Karena ternyata keputusan untuk full mom tidak disetujui sama sekali oleh suamiku. Dari kata-kata, sikap dan perilakunya. Ia hanya mengasihi anak-anak sementara, kemudian menyalahkanku kemudian karena kurang gesit, malas tidak bertanggung jawab terhadap ilmu dan titel.

Bahkan ustadz pun menjelaskan, seorang laki-laki terbaik adalah yang terbaik kepada istrinya. Namun suamiku berbeda, ia melupakan urusan akhirat dan hanya mempertimbangkan prestasi dunia saja. Sedangkan seperti yang kutahu, mengandung, melahirkan dan menyusui itu adalah sebuah karunia yang teramat sangat mulia. Bagaimana ia bisa menyepelekan dan membuatku tertekan hanya karena memilih menjadi seorang ibu?

Memang sedari awal kami tidak membicarakan ini lebih dalam, karena terbukti, dirinya yang mengaku siap mempunyai anak, siap merawat dan menjaga istri, bertanggung jawab. Tidak seclear itu salam jawaban. Kusadari kami ku terlalu terburu-buru dalam memiliki anak, karena sebelumnya tak kusangka ia dan diriku belum seiya sekata dan simultan dalam kehidupan. Ia merasa di jalannya sendiri dan aku diminta berada dijalanku sendiri. Lelah sebenarnya ini, membuatnya kebingungan, stres dan tertekan.

Pada akhirnya kusadari, ketegangan dalam beradaptasi dengannya dan lingkungan serta tekanan orang tua untuk bekerja, memunculkan baby blues padaku. Diriku tak merasakan rasa kasih sayang sedikitpun pada anak-anakku hingga usia mereka 2 tahun. Ku terlalu lama tenggelam dalam kebingungan dan penyesalan yang sia-sia. Karena kusadari, dirinya memang seperti itu bentuk dan isinya. 

Tidak paham makna membangun kehangatan dalam keluarga dan hubungan serta tidak berusaha memahami psikologi istri hamil dengan anak pertama.

Saat ku hamil, aku merasa begitu diabaikan. Permintaan manjaku, sapaan lembutku, dibalas dingin tak bergeming. Ia engga mengungkapkan rasa, baik itu senang, sedih, kecewa yang membuatnya lebih manusiawi. Namun saat ia harus mengekspresikan kesal, marah, curiga. Dengan mudahnya ia lakukan tanpa rasa penyesalan sedikitpun padaku sebagai objek kekebalan atau kekecewaannya. Hanya padaku ia tega membentak, mengkerdilkan, memarginalkan dan mengintimidasi. 

Aku tak menyangka luka yang ia alami sedalam ini, sehingga sebagai pasangan ku bisa menjadi sasarannya untuk mengungkapkan luka mendalamnya. Memang awalnya aku memahami, namun lama kelamaan diriku pun merasa semakin muak dan kesal. Apa dosaku sehingga kesetiaan dan pengorbananku dibalas dengan perilaku pengkerdilan dan pengintimidasian berkepanjang?

Manusia memang sumber kesalahan dan dosa, begitupun diriku. Namun  ku akui, keputusan menikah yang kupilih dulu terkesan terburu-buru karena perasaan terdesak oleh tekanan keluarga dan kerabat. Padahal diriku yang berada pada tahap itu sebenarnya masih menikmati masa pendidikan dan penitian karir dari 0. Namun Pilihan ku berakhir pada tidak memulai karir sama sekali.

Kusangka Pilihan ku akan jatuh pada pilihan terbaik, berkat nasihat dan dukungannya aku optimis. Namun tak kusangka, efeknya justru lik, diriku tidak merasa disupport dan didukung. Aku merasa kerdil karena jauh tertinggal dari teman-temanku. Belum lagi tekanan darinya yang menyatakan diriku bertitel namun tidak memiliki skill yang patut digunakan.

Penilaiannya memang tidak sepenuhnya salah, namun aku tak menyangka hal tersebut keluar dari dirinya orang yang kuinginkan dukungan dan kasih sayangnya. 

Manusia-manusia. Memang begitu rumit dimengerti, begitu pekat tabiryang perlu diuraikan dan begitu dalam sisa rasa sakit yang diemban ya sejak dulu. Hingga akhirnya usahaku membangun kehangatan keluarga dengannya gagal, dan keluarga islami yang kuimpikan juga buntu ditengah jalan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unintentional Supply

Essential of Love

The Pure Love