The problem is YOU!


Dia, sangat ahli menyudutkan dan mengintimidasiku agar aku merasa tidak berharga sama sekali, agar aku merasa semakin rendah diri dan tak berharga bagi siapapun.

Dia, selalu membahas bagaimana aku mengecewakannya, membuatnya menyerah dan banyak hal lain yang bersumber dari diriku menurutnya.

Dia, memintaku berada disampingnya namun disaat yang sama diriku dimarginalkan seolah tak berharga. 

Sebenarnya apa maunya, ia betul-betul mempermainkan ku saat aku benar-benar berniat dan bersikap mendukung serta menyayanginya sepenuh hati.

Memang manusia tidak boleh berharap. Namun apa yang kulakukan hingga kini rasa-rasanya tidak berharga sama sekali dikacamata kesombongan dirinta.

Dia mengatakan bahwa diriku kini jauh darinya, yang seolah kini sudah berada diatas langit dan tak sanggup meraih kembali bumi.

Dalam katanya, hanya ada ambisi dan kesombongan yang ku rasa. Bukan usaha untuk mendukung dan membujuk demi tujuan bersama.

Perasaanku? Marah, kesal, dan bosan. Berkali-kali dimaki, disudutkan, dihinakan setiap gerak langkah kehidupan, pemikiran. 

Apa aku tak boleh hidup dalam lingkup kebahagiaan yang kubingkai sendiri? Apa aku harus mencari bahagia dalam setiap bingkai kebahagiaan yang ia bentuk? Seolah disisinya adalah kebahagiaan hakiki, padahal tidak. 

Semakin dekat disisinya, semakin kurasa derita. Derita tak dianggap, derita tak diapresiasi, derita diacuhkan. Sikapku? Hanya diam, menangis dan mengadu kepada Allah. 

Saat imanku rapuh, aku terjatuh pada penyesalan dan kesedihan berkepanjangan. Kadang menangis tanpa sebab, hilang nafsu makan, banyak-banyak istigfar dan meminta ampun kepada Allah.

Aku khawatir saat mengalami kesedihan berlebihan, aku jadi stres dan tidak dalam keadaan terbaikku untuk mendampingi anak-anakku. Padahal mereka sangat membutuhkanku di masa perkembangannya saat ini.

Namun pemikiran ku tak berpengaruh sedikitpun untuknya, aku selalu dianggap beban dan beban untuk kehidupannya. Padahal aku begitu bersyukur dengan apa yang kumiliki saat ini. Anak-anak dan dirinya. Namun mengapa kata-katanya selalu berhasil membuatku jatuh tersungkur dan babak belur?

Innalilahi wa innailaihi raji'un

Saat tersungkur aku hanya berharap Allah senantiasa menguatkan keimananku dan mengampuni segala dosa-dosaku. Meski rasanya pahit, namun aku akan menjadikan setiap sakit sebagai penggugur dosa bagiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unintentional Supply

Essential of Love

The Pure Love