Another Suffocating Call

Perbedaan besar reaksi LDMku dan suami,
Suami lebih sering kesal, bosan dan kelelahan saat mengobrol denganku di telfon. Kecuali saat berinteraksi dengan anak-anak. Karena sering seperti ini, saat ditelfon aku akan segera mencari dan mendekat ke posisi anak-anak agar mereka bisa saling bercakap.

Berbeda denganku, aku kerap kali mengkhawatirkannya saat terpicu berita atau informasi mengenai dojter, tenaga medis dan pandemik. Aku mengkhawatirkannya. Namun entah rasa itu sempet tersampaikan atau tidak, entahlah. Dalam khawatirku, aku terus merindu. Hampir tidak pernah aku marah dan kesal kepadanya ditelfon, karena aku tau dirinya merasa begitu lelah dan terkuras.

Berbeda dengan diriku, yang dianggap tak berguna, tak produktif dan tak melakukan sesuatu agar seimbang dengan frekuensinya sekarang, bahkan nanti setelah gelar spesialis didapat. 

Saat kekesalannya muncul lagi ke permukaan. Ia akan mulai membahas kembali incapabilitasku dalam mengurus, mendidik anak-anak, bersikap produktif, cekatan dan tanggung jawab. Lebih sering beracuan pada mama mertuaku, yang menurutnya bisa melakukan hal terberat apapun dengan begitu mudahnya. Sedang aku tidak.

Katanya, aku jarang dilibatkan pada permasalahan komplek dan terkait dengan keuangan karena aku ga mencoba melibatkan diri. Padahal aku merasa sudah cukup terlibat dan merasa punya batasan tertentu masalah keuangan yang bukan menjadi hakku. Namun lagi-lagi ia menilai ku tak peduli, tak peka dan acuh terhadap hal tersebut. Yasudahlah.

Memang kurasa semakin lama pernikahanku, bukan semakin kami saling mengerti, tapi semakin banyak kesabaran-kesabaran yang mesti ku pupuk sedari sekarang. Karena keadaan kini justru membuat suamiku sulit bersabar dan lebih banyak menyalahkan serta menyudutkan ku entah dari sisi mana pun. Rasanya? Perih, sakit, dan merasa begitu tak berguna, bagaikan beban bagi pasangan sendiri saat mendengar keluh kesah dan kekecewaannya terhadap ku.

Padahal harapannya, ada yang bisa kuperbuat untuk membantu dan bertanggung jawab terhadap keluargaku sendiri. Namun nyatanya, usahaku sama sekali belum menyentuhnya. Alhamdulillah. Semoga rasa sakit ini jadi penggugur dosa dan latihan kesabaran bagiku. Karena memang ku tau sejak dulu, sejak pertama kali bertemu dengannya, kemungkinan ini akan muncul. Meskipun ia bilang dulu, pasti tidak akan seperti itu. Tapi semua ini masuk dalam prediksiku. 

Saat aku tak lagi sebersinar masa kuliahku, menjadi emak-emak yang isi pikirannya jauh berbeda. Kini ia merendahkan ku, mengkerdilkan ku. Nice, ia lupa bahwa manusia bukan tempat berharap dan kesabaran dan kesyukuran dalam pernikahan adalah nomer satu untuk mengatasi perbedaan.

Baiklah, aku akan menelan semua kepahitan akibat kurangnya kesyukuran dan kesabarannya. Buatku bisa jadi pemicu, untuk betul-betul bisa mandiri dari segala sisi. Karena ku merasa, ketidakstabilan ya justru akan muncul dari sisi dia. Aku sama sekali tidak boleh lagi mengharapkannya menjadi kepala keluarga dan tempatku kembali. Karena dia kini bukan lagi menjadi tempatku kembali kepada kedamaian, keamanan dan kenyamanan dalam suatu hubungan. Kepadanya aku kembali agar supaya makin bertambah keimananku, ketakwaan ku dan kesadaran ku betapa pahitnya menjalin sebuah hubungan. Direndahkan, tidak dianggap, dan diremehkan apapun yang pernah kulakukan. 

Mungkin dengan bersabar untuk berada bersamanya, semakin menambah potensiku untuk mendapatkan ridho' Illahi. Tidak apa harus merasakan perih, tak merasa dicintai atau tak dibahagiakan dan diapresiasi. Semoga Allah menggantinya dengan hal yang jauh lebih baik, lebih mulia. Kalau insya Allah suatu hari aku mampu menjadi insan mandiri yang sukses (aamiin). Aku takkan lagi meminta sedikit pun darinya, bahkan untuk sekedar apresiasi. Karena aku sadar dan betul-betul tau, ia tidak pernah merasakan hal tersebut dan tak merasa membutuhkannya. Sehingga kebutuhanku dan mindsetnya takkan pernah bertemu.

Alhamdulillah, memang hubungan pernikahan ini menyadarkan ku betapa tinggi dan mulianya sebuah pernikahan yang didasari ketakwaan. Bukan sekedar menikah, tapi sama-sama mengejar takwa, bukan mengejar sesuatu yang fana dalam urusan dunia. Karena dari permasalahan yang telah kami lewati, semua berkaitan dengan urusan duniawi. Respon dan kondisi pertentangan yang terjadi karena kami sama-sama kurang ilmu agama, kesabaran dan rasa syukur. Astagfirullah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unintentional Supply

Essential of Love

The Pure Love