Testimoni 2 Tahun Pernikahan

Waktu 2 tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melalui pernikahan. Banyak hal yang bisa dilakukan selama 2 tahun. Tapi rasanya lebih banyak penyesalan dan kekecewaan dalam 2 tahun ini.

Banyak kebahagiaan, namun terlalu rumit permasalahan dan mindset yang negatif sehingga menghapuskan kebahagiaan yang benar-benar ada selama 2 tahun ini.

Bisa dikatakan, pernikahan menjadi pressure bagiku ketika budaya dan kebiasaan memaksaku untuk menikah. Di umur yang katanya sudah dewasa, pendidikan sudah selesai bahkan sedang menjalani pascasarjana. Adik-adik sudah menikah.

Namun ternyata banyak hal yang belum sempat aku perbaiki, tenangkan dan fikirkan baik-baik bagi pernikahanku. Rasa-rasanya saat memulai untuk melangkah dengannya, suamiku, seolah ia bisa menolongku terlepas dari pressure masyarakat dan mindsetku sendiri.

Aku merasa bersalah pada suamiku, yang tidak mengetahui itu. Dia tidak mengetahui betapa bobroknya diriku, mindset dan mentalku saat mulai melangkah bersama. Aku fikir pernikahan adalah solusi dari kepenatan mindsetku yang terus menggerogoti.

Tapi ternyata tidak. Pernikahan justru makin membuat masalah mindset dan mentalku semakin parah. Belum selesai dengan permasalahan otak dan hati sendiri, sudah berani mengambil tanggung jawab besar terhadap anak dan suami. Memang bisa dibilang gila dan ga logis. Seiring berjalannya waktu, aku semakin mengerti, betapa penting dan bergunanya karakter dan mindset positive ditumbuhkan sedari dini. Juga kemampuan mengendalikan emosi dan pengambilan keputusan.

Kemandirian yang selama ini aku angan-angankan, justru menjadi bumerang bagiku. Nyatanya aku sama sekali tidak mandiri, baik dari segi personal ataupun cover pribadi. Aku masih lekat dengan sifat bergantung, pada siapapun.

Begitupula dengan mindsetku, yang eror dan erus menerus menggerogoti kebahagiaanku lewat kacamataku yang terus menerus kotor tanpa sempat dibersihkan. Aku sangat menyesali itu.

Challenge dan dinamika kehidupan baik single ataupun couple adalah hal yang niscaya. Niscaya pasti akan terjadi dan mungkin tidak terprediksi. Masalahnya adalah bekal, sebanyak apa bekal yang aku kumpulkan sebelum sadar, kebutuhan menikah.

Kesadaran dan kebutuhanku untuk menikah saat itu belu benar-benar clear. Banyak hal yang menjadi distraksi dalam pikirku dan qalbu yang keruh. Kini aku sadari, banyak orang menikah tapi kebahagiaannya berbeda. Terlihat dari mindset dan responnya terhadap masalah, begitu yakin dan mantap berbeda denganku.

Hari-hariku rasanya selalu rundung dan kecewa karena mindset yang salah arah. Padahal karunia Allah tak berbatas dan melimpah, tapi selalu saja aku silau dengan kebahagiaan lain yang tidak berhubungan dengan posisiku sebenarnya.

Saat single, pernikahan menjadi sesuatu yang mendebarkan saat mendengarnya. Namun kini, kami tau sama-sama, setiap pernikahan itu unik seperti manusia yang begitu unik. Masing-masing punya cara dan kisah yang berbeda untuk menikmati serta memaknai setiap momentum berharga.

Kunci bahagi itu adalah mindset positive!

Mindset ini sangat penting, ia berfungsi layaknya retina mata. Jika dipilih yang keruh, maka keruhlah dunianya. Jika dipilih yang cerah ceria, maka segalanya akan terlihat indah. Sesulit apapun masalah dan tantangan yang sedang dihadapi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unintentional Supply

Essential of Love

Resensi buku "Membentuk Karakter Cara Islam"