Bagasi-bagasi Masa Lalu

Terinspirasi dari Marcel Siahaan seorang penyanyi legenda itu. Beliau memaparkan tentang broken homenya yang membuatnya berfikiran negatif, rendah diri, mengkhawatirkan yang belum terjadi, dsb hal-hal yang mencegahnya melangkah lebih jauh.

Menurutnya, itu semua akibat dari luka di masa lalunya yaitu broken home. Aku merasakan hal yang sama dengannya. Perbedaannya ia sudah berhasil mengalahkan masa lalunya dan membuat bagasi-bagasi yang mengganggu hidupnya, sedangkan aku masih sama dan justru bergerak mundur karena belum melakukan aksi nyata yang menunjukkan aku bergerak maju.

Entah sebenarnya bagasi-bagasi apa yang mrmbuatku begitu rendah diri, haus perhatian, haus kehangatan, haus selebrasi, haus penghargaan, dll. Jika difikirkan kebelakang, masih ada hal yang saat kuingan sekarang begitu menyesakkan. Peristiwa itu seperti saling berkaitan, apalagi dibumbui dan didramatisir oleh overthinkingku yang parah. Itu seperti benalu yang masih terus menggerogoti.

Peristiwanya adalah ketika saudara-saudaraku mulai dipinang, khitbah, menikah. Tahap-tahapan yang membuatku seperti tertekan dengan omongan orang-orang sekitar yang begitu menyesakkan.

"Sudah punya calon belum?"
"Cepet nikah nanti ketuaan sudah dapat jodoh"
"Wah ko kakaknya dilangkahin nikah ya!"
"Kakaknya gak laku nih, masa yang nikah adiknya duluan"

Kalimat-kalimat pendek yang begitu menyayat hati. Kalau kepala mereka tau mulut mereka bisa setajam pisau, mungkin kepala itu akan memerintahkan mulutnya disimpan dulu disuatu tempat. 

Di saat itu pula, bodohnya aku, terpicu untuk juga menikah. Padahal kondisi psikisku saat itu sangat tidak stabil. Sok niat nikah karena ibadah, padahal menikah karena tidak kuat dengan belati lunak di wajah orang-orang nyinyir. 

Tak bisa dipungkiri, kedua orang tuaku yang memang kurang memahami dan kurang kehangatan, justru melawan egoku bukan merangkulnya, namun terus menerus memukulnya hingga ia babak belur dan semakin lemah.

Saat itu, overthinking dan baperanku menguasaiku melebihi apapun. Hal tergila yang kulakukan, marah-marah tiada henti, menangis sejadi-jadinya sepanjang malam, tidak makan, minum dan istirahat yang cukup.

AKU LABIL, TERLUKA dan TERTEKAN

Saat itu aku adalah orang yang bersemangat, berambisi dan mempunyai mimpi. Ghirah dan kecenderungan baik masih dominan saat itu dalam diriku.

Namun rangkaian peristiwa itu ternyata mendown-gradekan diriku sendiri, bahwa :

AKU TIDAK BERHARGA

Orang tuaku, saudariku, bahkan diriku sendiri tidak menyadari hal itu jadi mereka pun tidak bisa membantuku. Padahal saat itu aku sangat butuh penghibur dan penguatku. Saat ini akhirnya aku tau, bahwa range RESILLENCE yang aku miliki itu begitu rendah, ditambah aku yang tak berani sharing dengan teman-temanku. Tidak ada orang lain yang aku anggap bisa menenangkanku. Bahkan orang tuaku pun begitu, mereka sama seperti orang tua jaman penjajahan. Mendikte, melabel dan menuntutku yang tak tahu bagaimana mengatasi emosi yang begitu menyesakkanku.

Di saat ego dan perasaanku yang tak labil itu, aku memaksakan diri untuk juga menikah. Padahal aku sadar benar, bahwa diriku saat itu sangatlah labil dan sulit mengendalikan pikiran-pikiran labelling yang membuatku sesak.

Memang keputusanku menikah itu rasanya sudah benar. Tapi pertimbangan dan logika berfikirku saat itu kurang luas, panjang dan kurang bijaksana. Jika difikir-fikir, mungkin aku yang dulu belum tentu bisa dan sanggup menikah, jika jodoh datang itu ditunda lagi.

Jadi meskipun 5 tahun pernikahan ini aku merasa tidak serius menjalankan visi pernikahan kami. Tapi aku mendapatkan pelajaran berharga. Pertama, agar menjadikan Allah awal dan akhir kita dalam mengambil keputusan hidup, tidak meremehkan sesuatu apapun dan siapapun, juga berusaha semaksimal mungkin seolah besok tidak akan datang kesempatan kedua.

Kedua, mendahulukan husnuzon diatas segalanya, paling utama adalah husnuzon kepada yang Maha Pencipta, husnuzon pada makhlukNya dan mengesakan Allah diatas semua dinamisasi kehidupan.

Ketiga, menegakkan shalat, sunnah dan menyempurnakan sabar. Karena dinamika keluarga yang begitu memeras jiwa raga seumur hidup jelas akan sangat menyenangkan dan melelahkan. Semoga lelah ini dapat kugenjot agar menjadi Lillah, aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unintentional Supply

Essential of Love

The Pure Love