Push Harder and More

Entah kali keberapa setiap telfon darinya selalu meninggalkan luka, kecewa, dan trauma untuk menerima telfon yang panjang lagi.

Ia selalu mengatakan, aku tidak mampu, aku tidak kompeten, aku tidak bisa dipercaya, aku tidak berintegritas, aku temperamental

Memang tidak semuanya fitnah, namun sedih rasanya, bahkan saat berjauhan pun ia tidak sekali pun membuatku merasa tenang, tidak sekali pun ia membuatku merasa diterima.

Entahlah, entah akulah yang terlalu naif akan beratnya dan kejamnya dunia. Dia selalu menyadarkanku, betapa diriku ini sulit diterima oleh masyarakat apalagi dunia kerja.

Jangankan di hadapan publik, dihadapkan suami sendiri saja, aku selalu merasa ditolak, dimarginalkan, dikerdilkan segala apapun yang telah aku lakukan dan ada dalam diriku.

Kemudian aku selalu berkeluh dan mengadu pada Allah..

Apakah benar aku seburuk perkiraannya?
Apakah benar aku senaif yang ia fikiran tentangku?
Apakah setidak kompeten itu diriku untuk berada disampingnya?
Apakah begitu bodohnya aku telah menyakitinya dengan keadaan dan kondisiku sekarang ini?

Saat memikirkan jawaban yang mungkin darinya, aku merasa hancur, aku merasa tidak diterima, aku merasa benar-benar gagal memberinya kebahagiaan. Aku merasa gagal dan kacau.

Sebagai istri ku hanya ingin mendampinginya dan bersamaan dengan itu mengasuh dan mendidik anak-anak kami dengan maksimal. Namun dari apa-apa yang ia ungkapkan, aku selalu dalam posisi terendah, posisi dimana aku terbelakang dibandingkan apa yang ia raih, aku merasa tertekan ya Allah, aku merasa terhina dan tiada yang tersisa dariku untuk kuberikan padanya.

Aku kini bingung, apakah memang aku lah yang membuatnya begini, atau ia yang salah langkah, melihatmu dari sisi yang tidak kusukai ia melihatku?

Namun kusadari, memang kecerdasan dan kebijaksanaan itu tidak selamanya berintegrasi. Aku memang mengharapkan suami yang cerdas, banyak akal dan sekufimu denganku. Namun ku tidak merasakan kebijaksanaan dalam kepemimpinannya. Meskipun diriku telah jauh jatuh dan tertinggal dari generasiku seharusnya, namun dalam benakku, ku lakukan semua ini untuknya, untuk anak-anak kami.

Sayangnya, tidak sedikit pun niat baikku, usahaku yang memang sederhana, sampai pada lubuk hatinya. Sayang oh sayangnya...

Jikalau boleh kumerajuk padaMu Ya Allah, harus kemana jalan yang kutempuh?

Haruskah kuikuti saja kehendaknya dan membiarkan kami terpisah jauh selama 4-5 tahun lamanya. Ataukah aku memaksakan diri untuk menyusulnya dengan resiko akan mendapatkan tekanan yang jauh lebih intens dari yang sekarang?

Ya Allah, tunjukilah jalan kami yang lurus, jalan yang sesuai dengan takdir kami, jalan yang Engkau ridhoi untuk kami maknai setiap desa nafas dan langkahnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unintentional Supply

Essential of Love

The Pure Love